KYAI MUDA DAN KYAI SEPUH

Pada suatu hari,

Di sebuah pondok pesantren yang dipimpin oleh seorang Kyai alim yang bersahaja, memiliki belasan santri yang dengan giat dan tekun belajar Al Islam, bahkan diantara santri ada yang melakukan riyadloh dengan puasa senin kamis, qiyamul lail, dan berbagai macam amalan yang lain.

Walhasil pondok tersebut akhirnya bisa melahirkan Kyai – Kyai Muda yang mumpuni, alim dan berkepribadian mulia. Di antara para kyai muda tersebut, ada seorang kyai yang sukses hingga memiliki pesantren yang besar dan memiliki ribuan santri, jauh melebihi dari gurunya (kyai) dulu.

Di dalam keberhasilan kyai muda tersebut, ada salah seorang santri yang memperhatikan setiap prilaku Sang Kyai. Sosok Kyai Muda yang bersahaja, ramah dan kasih sayang pada setiap santri, yang selalu menjaga ibadah wajib dan sunnah, yang pengajarannya mudah diterima santri. Namun demikian, satu hal yang terasa ganjil pada Kyai Muda. Si santri tidak pernah mendapati Kyai muda menghadliri sholat jum’at di masjid pesantren.

Karena Kyai muda terkenal sebagai kyai yang santun dan terbuka pada segala masukan. Maka santri tersebut memberanikan diri bertanya kepada Kyai,” Kyai, mohon maaf sebelumnya kalau saya ‘lancang’ bertanya kepada ‘Panjenengan”.” Saya kok tidak pernah lihat Kyai ikut sholat jum’at di masjid pesantren ?”, “Apakah Kyai ada jadwal khotib di masjid lain ?” tanya santri dengan berharap tidak menyinggung perasaan kyai Muda.

Tersenyumlah kyai Muda mendengaar pertanyaan santri, “Oo… begitu, jadi kamu ingin tahu saya sholat jum’at di mana?”, tegas kyai,”Begini santriku, kuberitahukan kepadamu bahwa selama ini saya selalu sholat jum’at di ‘Masjidil Haram’ Makkah”. Mendengar jawaban Sang Kyai, santripun merima walau hatinya dijangkiti perasaan antara kagum dan tak percaya. Setelah berterikasih atas jawaban kyai, santripun pamit ke pondokan.

Di dalam pondokan si santri bertanya-tanya dalam hati, benarkah kyainya sehebat itu (bisa ke kota Makkah yang jaraknya ribuan kilo dalam waktu sekejam), benarkah kyainya memiliki ilmu “nglempit bumi”, benarkah kyainya telah mencapai maqom “Waliyulloh” sehingga memiliki karomah yang luar biasa, dan sederet pertanyaan lainnya yang tak terjawab.


Pertanyaan-pertanyaan ini muncul dikarenakan si santri tahu siapa guru dari Kyai Mudanya. Seorang kyai yang sudah sepuh yang istiqomah dan bersahaja dalam mengajar. Yang tak pernah memperlihatkan keanehan (kesaktian/kadigdayan) ataupun karomah yang dimiliki. Walhasil sebab penasaran, santri memberanikan diri menemui guru dari Kyainya. 


Di dahului salam ta’dzim santri menyapa Kyai Sepuh, ”Assalamu’alaikum Kyai …!”,
”Wa ’alaikum Salam Warohmatulloh ..!”, jawab Kyai Sepuh.
”Kamu siapa ?”, tanyanya kemudian.
” Perkenalkan Saya adalah santri dari Kyai Muda. Tujuan saya kemari … pertama silaturrahim, kedua saya ingin menyampaikan kegelisahan hati saya mengenai guru saya yang setiap sholat jum’at selalu sholat di Masjidil Haram Makkah”, kata santri menguraikan maksud kedatangan.

Mendengar penuturan si santri, Kyai Sepuh tersenyum sambil berkata, ”Oo begitu ya !”,” Kalau demikian sampaikan salamku pada Kyaimu, dan saya titip pesan bila ke Makkah lagi supaya membawakan oleh-oleh kurma Thoif”.

Setelah mohon diri Santripun kemudian menghadap pada Kyai Muda. Ba’da salam santri berkata, ”Kyai ngapunten, saya baru saja silaturrahim ke Kyai Sepuh”.
Mendengar si santri dari Kyai Sepuh, Kyai Muda menanggapi dengan senang, ”Dari Kyai Sepuh …? Adakah pesan Kyai Sepuh untuhk saya wahai Santriku ?”
”Inggih, beliau titip salam dan pesan bila Kyai ke Makkah …, Kyai Sepuh minta dibawakan oleh-oleh kurma Thoif”, jelas santri.

”Kyai Sepuh hanya pesan kurma Thoif …? Atau barangkali masih ada pesan lain yang belum kamu sampaikan ?” tanya Kyai Muda memastikan.
Kyai Muda sebenarnya adalah santri yang sangat menghormati guru, maka beliau tidak ingin mengecewakan gurunya.
”Tidak ada Kyai, hanya itu ”, jawab santri
”Kalau begitu insya Alloh nanti malam saya ke Makkah, dan besok pagi kamu ke sini mengambil pesanan Guruku”, kata Kyai Muda.
”Inggih, sendiko dawuh”, jawab santri.

Sesuai waktu yang ditentukan, ba’da wirid Subuh Kyai Muda memanggil santri,
”Santri … kurma pesanan guruku sudah ada di rumah, tolong kamu ambil dan segera antarkan ke Kyai Sepuh”.”Jangan lupa salamku untuk Kyai Sepuh”, tambah Kyai Muda
”Inggih..!” jawab santri.

Santri pun segera ke nDalem Kyai untuk mengambil kurma. Dipandangi sekeranjang kurma Thoif segar yang baru diambilnya, dalam hati… santri merasa ta’ajub, ”Subhanalloh, luar biasa, Allohu Akbar walillahi hamd”. Kyai mudanya benar-benar membawakan kurma yang hanya ada di Makkah.

Segera santri menuju kyai Sepuh untuk memberikan kurma Thoif. Setelah salam dan sedikit basa basi, santri menyerahkan kurma pesanan Kyai.
Dengan senang Kyai Sepuh berkata pada santri, ”Lha… seperti inilah kurma Thoif”.”Kurma ini sangat enak dan dikenal dengan istilah kurma Nabi”.”Kamu boleh mencicipi”. Setelah mencicipi kurma Thoif, Kyai melanjutkan perkataanya, ”Oh ..ya. Kamis depan kamu saya minta ke sini lagi”.”Ada pesan yang ingin saya sampaikan untuk gurumu”.
”Inggih Kyai, Insya Alloh!”, jawab santri.

Setelah kembali ke pondok, santripun menyampaikan perihal pesan Kyai Sepuh pada Kyai Muda. Kyai Mudapun berwasiat agar jangan sampai lupa ke pesantren Kyai Sepuh pada hari kamis.

Kamis ba’da sholat subuh, santri ke pesantren Kyai Sepuh memenuhi janjinya. Sesampai di pesantren, kyai Sepuh sudah menunggu di serambi masjidnya. Setelah salam ta’dzim terucap kyai mempersilahkan santri duduk untuk menunggu, karna kyai Sepuh harus menyiapkan dulu pesan yang hendak dititipkan pada Kyai Muda.

Beberapa saat kemudian, kyai Sepuh menghampiri santri sambil membawa surat beramplop. Beliau lalu berkata, ” Saya ada surat untuk penjaga menara Masjidil Haram, saya minta tolong pada gurumu untuk disampaikan bila nanti berangkat ke Makkah”. ”Dan beritahukan surat ini jangan sampai dibuka kecuali bila sudah bertemu penjaga menara!”.”Sampaikan salam dan trima kasih saya pada Kyai Muda !”imbuh kyai Sepuh.
”Baik Kyai !”jawab santri dengan penuh hormat.

Segera santri kembali ke pondokannya dan menemui kyai Muda. ”Assalamu’alaikum Kyai …!” ucap santi.
”Wa’alaikum salam warohamatulloh !” jawab kyai Muda,”Santri … ada titipan apa dari Kyai Sepuh ?” tanyanya kemudian
”Kyai Sepuh, titip surat untuk diberikan kepada penjaga menara Masjidil Haram”.”Belaiu pesan untuk tidak membuka surat kecuali di depan penjaga menara”, jelas santri menirukan kyai Sepuh.
”O .. begitu, insya Alloh menjelang mangrib nanti saya berangkat”, kata kyai Muda menutup pembicaraan.

Kyai Muda berangkat ke Masjidil Haram ketika hari menjelang maghrib. Sampai di Masjidil Haram hari telah gelap. Tampak lampu – lampu penara Masjidil Haram bersinar sangat terang, manambah keindahannya di malam hari. Setelah sholat isya’ dicarilah penjaga menara sesuai yang tertulis pada amplop surat. Tepatnya penjaga menara yang berapa di atas menara masjid bagian pojok barat.

Setelah menyampaikan salam, kyai Muda berkata pada penjaga menara, ”Saya dititipi surat untuk Anda oleh Kyai saya di Jawa”.
”Oh, iya mana suratnya ?” tanya penjaga menara
Kyai Muda pun menyerahkan amplop coklat berisi surat dari kyai Sepuh. Penjaga menara menerima dan langsung membukanya. Tapi setelah melihat lembaran surat, penjaga menara berkata, ”Kyai Muda saya tidak bisa membaca surat ini, tolong Anda membacakan untuk saya”, pinta penjaga menara.

Kyai muda menerima kembali suratnya dan mulai membaca isi surat. Ketika isi surat sedang dibaca, tiba – tiba seluruh lampu di Masjidil Haram mati.. Kyai Muda pun panik. ia berupaya mencari pegangan supaya tidak jatuh atau tergelincir. Alhamdulillah … kyai Muda berhasil berpegangan pada sebuah tiang. Tapi aneh tiang batu yang tadi dipegang berubah menjadi sebuah pohon. Lambat – lambat diperhatikan sekitar, masih sangat gelap, namun demikian kyai Muda akhirnya menyadari bahwa dia berada di atas sebuah pohon pinus. Mau turun khawatir, karena kondisi di bawah tidak terlihat. Jangan – jangan ada binatang buas. Akhirnya kyai Muda memutuskan untuk turun ketika hari menjelang subuh.

Setelah cahaya pagi semakin jelas, kyai Muda semakin yakin bahwa Masjidil Haram yang selama ini dia datanngi tidak lain hanyalah sebuah hutan pinus yang letaknya tidak jauh dari pesantrennya.

Setelah turun dari pohon, Kyai Muda membulatkan tekat untuk pergi menghadap Kyai Sepuh. Kyai Muda ingin tahu apa yang sebenarnya ia alami. Dikarenakan titipan surat dari Kyai Sepuh menara Masjidil Haram menjadi pohon. 

Setelah menerima penjelasan dari Kyai Sepuh, Kyai Muda sadar bahwa selama ini dia telah ditipu mentah – mentah oleh syaithan. Dikiranya dia telah mencapai maqom Waliyulloh yang mendapat karomah ilmu Lipat Bumi. Dikiranya dia telah ”Wusul ilalloh” hingga semua keinginannya terpenuhi. Begitu canggihnya Syaithan membuat tipu daya hingga mengaburkan tujuan hakiki setiap hamba beribadah kepada Alloh.

Pamanpun berkata pada kemenakan,
” Jangankan hanya membuat ”Duplikat” Masjidil Haram, Iblis sanggup menyaru sebagai Alloh seperti halnya yang terjadi kepada Syaikh Abdul Qadir Al Jailani”.

”Iblis dan bala tentaranya akan terus menggoda setiap muslim ila yaumil qiyamah”.
“Dari iman yang paling rendah sampai yang dianggap tinggi”,
”Dari membuat goyah keimanan sampai dengan membuat orang takabbur akan ilmu dan ibadahnya”. 


Wallohu a’lam.
Previous
Next Post »